Minggu, 17 Juni 2012

“Pendidikan Islam” dalam Kaca Mata Tokoh Nasionalis


Judul               : Pendidikan di Mata Soekarno “Modernisasi Pendidikan Islam dalam Pemikiran Soekarno”
                          Penulis            : Syamsul Kurniawan, S.Th.I, M.S.I
                          Penerbit          : Ar – Ruzz Media
                          Terbit             : Juli 2009
                          Tebal              : 224 halaman
Soekarno atau yang biasa dipanggil dengan sebutan Bung Karno, tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Bung Karno mendapat predikat Bapak Proklamator karena ia bersama Mohammad Hatta yang telah membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, selain itu beliau adalah Founding Fathers yang banyak berperan dalam membangkitkan, memberikan jati diri bangsa, serta meletakkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Soekarno adalah seorang muslim dan bahkan di Timur Tengah beliau diakui sebagai seorang pemimpin Muslim. Sayangnya di Indonesia sendiri, Soekarno lebih dipandang sebagai seorang pemimpin nasionalis dibanding sebagai seorang pemimpin Muslim. Padahal, Bung Karno telah banyak menulis dan berpidato tentang Islam. Menurut penulis, perlu dipertimbangkan kembali mengenai kedudukan Soekarno sebagai seorang pemikir Muslim, karena ia telah banyak menyumbang wacana keislaman.
Soekarno merasa kecewa dan tidak menyetujui paham-paham Islam Tradisional. Soekarno menyerang doktrin taklid dan sikap menutup pintu ijtihad. Ia menentang kekolotan, ketakhayulan, bid’ah, dan anti-rasionalisme yang dianut oleh masyarakat Muslim Indonesia. Ia melihat bahwa paham-paham Islam yang dianggapnya keliru itu dipengaruhi oleh kondisi masyarakat, khususnya stelsel ekonomi. Kritik Soekarno memang blak-blakan dan keras, sehingga ia sendiri bisa disalah-pahami sebagai “ anti-Islam”. Walaupun menyadari risiko itu, ia tidak berhenti mengkritik paham-paham Islam yang kolot.
Pendidikan Islam juga menjadi salah satu perhatian Soekarno. Baginya, pendidikan Islam merupakan arena untuk mengasah akal dan mengembangkan intelektualitas. Dalam sejumlah tulisannya, Soekarno banyak menyebut dan mengidentifikasi berbagai problem yang dihadapi oleh dunia Islam, terutama yang berkaitan dengan persoalan kebudayaan, intelektualitas, dan berbagai fenomena politik di dunia Islam. Tetapi Soekarno selalu yakin bahwa jika umat Islam mau menjadi modern dan melakukan pembaruan, maka Islam bukan lagi agama dalam pengertian ritual belaka, melainkan Islam akan menjelma menjadi kekuatan transformasi dan perubahan. Menurut Soekarno, sesuatu yang dapat disebut modern jika ia mampu bersifat rasional, ilmiah, dan berkesesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dengan alam. Syamsul Kurniawan dalam bukunya yang berjudul Pendidikan di Mata Soekarno ini mencoba memaparkan pemikiran Soekarno tentang modernisasi dan visinya bagi pendidikan Islam. Dalam buku ini dibahas mengenai gagasan Soekarno yang relevan dengan persoalan pendidikan Islam kontemporer, misalnya pendidikan perempuan, integrasi Ilmu, dan profesionalisme guru.
Buku ini juga mengungkapkan latar belakang pribadi dan perjuangan Soekarno. Dalam buku ini diungkapkan bahwa orangtua Soekarno banyak mempengaruhi agama dan keberagamaan Soekarno sendiri. Ayahnya adalah seorang priyayi Jawa yang menganut agama Islam, sedangkan ibunya berasal dari keturunan brahmana Bali yang menganut agama Hindhu-Bali.
Ketika Soekarno mencoba memikirkan tentang pendidikan Islam, merupakan konsekuensi logis dari pendidikan dan pengetahuan yang ia terima. Karena ia bukan berasal dari latar belakang pendidikan Islam seperti di pesantren atau di madrasah. Soekarno hanya mendapat pendidikan ala Barat yang diselenggarakan oleh Belanda di Indonesia. Ide-ide pembaharuan dalam Islam, terutama dalam pendidikan Islam menunjukkan bahwasanya ia mendukung paham rasional. Hal ini mendorong ia untuk bergabung dengan Muhammadiyah yang mana ia dapat menemukan kawan-kawan yang sehaluan dengan pemikiran-pemikiran keislamannya yang progresif. Berbagai pengalaman Soekarno tentang Islam dan sekaligus pengalamnnya di organisasi Muhammadiyah semakin mempertajam kepekaannya terhadap pendidikan Islam.
Menurut Soekarno, mencontoh Barat dalam hal yang duniawi bukanlah suatu hal yang dilarang dan bertentangan dalam Islam. Esensi ilmu agama dan ilmu umum pada dasarnya tidak berbeda yang bertujuan mengabdi pada Tuhan sebagai jalan kebahagiaan dunia dan akhirat. Bisa dilihat juga dalam halaman 26, umat Islam harus berani melepaskan diri dari “ penjara taklid “, dan memberanikan diri untuk menatap masa depan yang sarat dengan kompetisi dan kompleksitas kultur dan ilmu pengetahuan. Menurut Soekarno yang ia kutip dari Profesor Farid Wajdi dari Mesir, bahwa Islam hanya akan dapat berkembang dengan dasar kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan.
Pemikiran Soekarno terkait aspek pendidikan juga menyoroti posisi perempuan. Perempuan harus diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk mampu memberdayakan diri dan memberi kontribusi bagi kehidupan. Setidaknya ini senada dengan apa yang di perjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini selama hidupnya. Soekarno menentang pendidikan Islam yang memarjinalkan kaum perempuan. Tak kalah menariknya, Soekarno membahas pentingnya guru dalam proses pendidikan.
“ Pemimpin! Guru! Alangkah hebatnya pekerjaan menjadi pemimpin di dalam sekolah, menjadi guru di dalam arti yang spesial, yakni menjadi pembentuk akal dan jiwa anak-anak! Teruama sekali di zaman kebangkitan! Hari kemudiannya manusia di dalam tangan guru itu, menjadi manusia”
Demikian pendapat Soekarno tentang guru yang penulis kutip dari buku karangan Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Dalam pandangan Soekarno, guru adalah pekerjaan mulia karena di tangan gurulah masa depan bangsa ini ditentukan. Namun, seorang guru bisa menjadi penyebab hancurnya masa depan bangsa, karena tidak semua guru tingkah-lakunya mencerminkan perilaku seorang guru.
Inti dari apa yang diuraikan Soekarno mengenai hakikat seorang guru adalah hasil dari pendidikan itu sangat ditentukan oleh guru. Guru yang mengajarkan kebaikan didepan murid, namun dibelakang muridnya ia justru melanggarnya, dengan demikian guru yang tidak konsisten tersebut tidak patut dijadikan teladan. Seperti dalam istilah Jawa, guru adalah digugu dan ditiru, jadi guru adalah seorang panutan oleh muridnya. Karena tugas seorang guru, selain melakukan kegiatan belajar mengajar, ia juga menjadi teladan bagi murid-muridnya, yang dibuktikan dengan perilaku kesehariannya. Guru juga sebagai motivator, ia harus dapat memotivasi muridnya agar penuh semangat dan siap menghadapi serta menyongsong perubahan hari esok.
Dalam menulis buku ini, penulis terkesan cukup berhati-hati dan objektif dalam analisisnya sehingga fakta dalam sejarah tetap ditempatkan pada posisi yang terhormat. Penulis tidak pernah membiarkan dirinya terpasung dalam tarikan sikap pro dan kontra. Rasionalitas dan pertimbangan yang jernih selalu digunakan penulis dalam menyusun buku ini. Buku ini tepat dibaca oleh para pendidik, terutama mereka yang berkecimpung dalam pendidikan Islam. Karena pikiran-pikiran dasar Soekarno mengenai pendidikan Islam, sekiranya bisa dijadikan acuan atau pertimbangan dalam mereformasi sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar