Selasa, 05 Juni 2012

RESUME FILSAFAT ILMU


RESUME
STRUKTUR ILMU
Ditulis guna memenuhi tugas akhir semester mata kuliyah
Filsafat Ilmu
Prodi. Ekonomi Islam Semester III
Dosen pengampu : Abdul Jalil, S.Ag, M.EI








Disusun oleh :
M. Fathul Mujib
210254


 
 
FAKULTAS SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2011




Struktur Ilmu

1.      Ontologi
Objek ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada di dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi, secara etimologi yang berarti di balik atau dibelakang fisika, maka yang diselidiki adalah hakekat realita menjangkau sesuatu dibalik realita karena metafisika ingin mengerti sedalam-dalamnya.
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika yang juga disebut dengan Proto-filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah Hakekat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan tenaga-tenaga yang di langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga.
Sebagai contoh, ontologi atau hakekat dalam membicarakan tentang hakekat manusia. Pada hakekatnya manusia adalah hewan dan berfikir.
Ketika kita membicarakan hewan, hewan dilihat dari hakekatnya terdiri dari :
1.        Amarah
2.        Lauwamah
3.        Muthmainnah
Dan ketika kita berbicara tentang berfikir terdapat beberapa hal, yaitu : Otak, Hati, dan Nurani.
Yang terjadi dalam kehidupan, kebanyakan manusia dalam hakekatnya baru mengurusi pada hakekat hewan dan pada tingkatan raga atau amarah. Bisa kita lihat dari mulai bangun sampai tidur dan bangun lagi, yang di iklankan di televisi semua berkaitan dengan raga. Sedangkan pada tingkatan Lauwamah dan Muthmainnah hanya sedikit orang yang mengurusi. Ketika pada tingkatan amarah telah terabaikan maka manusia akan beralih atau meningkat kepada Lauwamah dan ketika lauwamah telah terpenuhi maka tingkatan Muthmainnah pun terpenuhi.
Sedangkan pada hakekat manusia yang kedua atau berfikir, kebanyakan manusia baru memenuhi sebesar  20 %. Ketika telah memenuhi lebih dari 50 % maka saat itulah manusia terdapat pada tingkatan Muthmainnah atau telah berfikir kepada surga.
Dan ketika hakikat membicarakan tentang ketuhanan. Muncullah beberapa keyakinan/aliran, yaitu :
1.      Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran, yaitu : Materialisme dan Idealisme.
2.     Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).[1]
3.     Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religiondikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

2.      Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.[2] Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertangungjawaban ilmiah.[3]
Pada Epistimologi terdapat dua bahasan, yaitu :
1.      Origin atau sumber.
2.      Paradikma Berfikir
Dalam hal ini terbagi menjadi :
1.      Bayani ( Teks )
Dari kata-kata bahasa Arab, Bayan berarti penjelasan atau keterangan.[4] Jika kita mengikuti nash yang dikemukakan oleh lisan Arab kepada kita, maka menurut, Al-Jabiri, ada lima pengertian yang paling tepat untuk  arti Bayan, yaitu : al-washal, al-fashl, azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan hayawan mubin.
1)      Al-washal (sambungan, pertalian).[5] Keterangan tentang al-washal ini sebagaimana firman Allah SWT kepada kaum musyrikin dalam QS. Al-An’am, 6 : 94 :
Artinya : Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu. sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).
2)      Al-fashl (pemisah).    Banyak sekali penjelasan tentang keterangan materi kebahasaan yang berkaitan dengan lafazh ­al-fashl ini, dengan bentuk padanan kata yang bermacam-macam, diantaranya al-bu’d (jauh), al-firqah (kelompok), al-mubayinah/al-mufariqah (memisahkan), al-firaq (berpisah, cerai).
3)      Azh-zhuhur wa al-wudhuh (jelas, nyata). Makna kata ini sama juga dengan makna yang sebelumnya, yaitu pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian bayan yang disamakan dengan pengertian azh-zhuhur wa al-wudhuh ini merupakan kesimpulan dari pengertian sebelumnya yang menunjukkan pada arti  pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian ini menunjukkan pada kedudukan sesuatu pada pengertian lainnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sedangkan pada pengertian selanjutnya (azh-zhuhur wa al-wudhuh), adalah mengisyaratkan pada suatu kondisi yang dinisbatkan bagi orang yang memandangnya dari aspek kemanusiaan. Dengan kata lain, pada pengertian awal berhubungan dengan wujud ontologi atas suatu materi, sedangkan pengertian selanjutnya adalah berhubungan dengan wujud epistemologi.
4)      Al-fashahah wa al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan pemahaman kepada orang lain).[6]
5)      Al-insan hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan). Ini adalah kemampuan untuk berbicara dengan ucapan yang fasih, dan hanya dimiliki oleh manusia.[7]
Pengertian tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada masa asy-Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushûl (pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furû`). Sedang dari segi metodologi, asy-Syafi’i membagi Bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu :
1.      Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2.      Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
3.      Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
4.      Bayan sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
5.      Bayan ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah.
Dari lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushûl) ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma.[8]

2.      Burhany ( Logika )
Cara berpikir burhani adalah cara berpikir saintifik, yaitu dengan menggabungkan antara analisis rasional-filosofis dan analisis konteks empiris (historis, sosio-antropologis dan politis-ideologis). Melalui pendekatan burhani ini kita tidak hanya dapat mengungkapkan konteks kesejarahan dari suatu risalah keagamaan, tetapi juga dapat mengungkap akar pemikiran, nilai-nilai spiritualitas, kandungan filosofis, dan local wisdom (kearifan lokal)nya serta visi pencerahan dan kritik sosialnya.
Logika di masa modern ini terbagi atas :
a.       Rasionalisme ( Rasional )
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Pendidikan

Skill

Experiens
Self act.
Jika digambarkan, perkembangan Rasionalosme akan sepeti berikut :






b.      Matrealisme ( Materi )
Matrealisme mengatakan bahwa hal yang bisa dikatakan benar-benar ada adalah materi. Dalam sebuah pemahaman logika setelah rasional terpenuhi makan secara otomatis materi pun akan terpenuhi.
Pemahaman hakekat di dunia ini menurut matrealisme adalah materi, matrealisme tidak percaya atau tidak mengakui adanya roh, hantu, setan dan malaikat.

c.       Hedonisme ( Kenikmatan )
Aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan ‘hedone’ (kenikmatan dan    kelezatan). Kebaikan yang paling utama dan kewajiban seseorang ialah mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Aliran hedonisme dibagi menjadi dua cabang yaitu hedonism egostik dan hedonism universalistic. Aliran hedonism didukung oleh Demokritos, Aristeppos, dan Epikuros.
3.      Irfany ( Rasa )
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan).[9] Kemudian, kata itu lebih dikenal sebagai terminology mistik yang secara khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”.[10] Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyraq.[11]
Menurut Zu al-Nun al-Misri membagi pengetahuan ke dalam tiga bagian, yaitu pertama pengetahuan tauhid yang khusus dimiliki oleh orang-orang mukmin yang ikhlas. Kedua, pengetahuan al-hujjah wa al-bayan (argument dan logika) yang khusus dimiliki oleh ahli hukum ahli bahasa, dan ulama yang ikhlas. Ketiga, pengetahuan sifat al-wahdaniyah (sifat-sifat keesaan) yang khusus dimiliki oleh wali-wali Allah yang ikhlas yang mennyaksikan Allah dengan hati mereka sehingga tampak kebenaran bagi mereka, tetapi tidak dapat dilihat oleh orang-orang awam.[12]
Dalam implementasi penalaran irfani terdapat 3 metodologi yang sekaligus dimaknakan dengan tiga pendekatan, seperti berikut ini :
a)        Metode Strukturalis, artinya dalam mengkaji sebuah tradisi seseorang berangkat dari teks-teks sebagaimana adanya. Di mana unsur-unusr baku yang ada di dalamnya berperan mengarahkan perubahan-perubahan yang berlaku pada dirinya, pada satu lingkaran focus tertentu.
b)       Analisis Sejarah, hal ini berkaitan dengan upaya untuk mempertautkan pemikiran diempunya teks (yang telah di analisis dalam pendekatan pertama) dengan lingkungan sejarahnya.
c)        Kritik Idiologi, maksudnya menungkap fungsi idiologis. Termasuk fungsi, social, politik, yang terkandung sebuah teks dalam satu system pemikiran tertentu dari rujukannya.[13]
Dalam beberapa pengkajian tentang Irfani ini terbagi dalam beberapa tingkatan, antara lain :
1.        Pengetahuan tak terkatakan
2.        Pengetahuan irfani atau mistis
3.        Pengetahuan metafisisme yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Orang Islam menjelaskan pengalaman mistis orang Islam yang Islam.
b.      Orang Islam menjadi pengalaman mistik dari tokoh mistik non muslim.[14]
Ketiga pendekatan di atas, saling berkait-erat antara satu dengan yang lainnya dan membentuk hubungan dialogis-melingkar (sirkuler-dialektis) : memahami teks (bayâni), tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhâni) ; pemahaman konteks (burhani), tidak dapat terlepas dari pemahaman teks itu sendiri (bayâni) ; sementara pemahaman makna terdalam (irfâni), membutuhkan pemahaman teks dan kontek sekaligus. Berdasar ketiga pendekatan ini, maka diharapkan problem agama dan kehidupan, mendapat penjelasan secara komprehensif, baik normativitas, historisitas maupun spiritualitas terdalamnya, sehingga dapat dijadikan basis kebijakan aktual dalam pengembangan strategi kebudayaan dan pembangunan.
3.      Aksologi
Aksiologi  adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-buruk (moral dan etika). Objek material aksiologi adalah perbuatan atau tingkah laku manusia secara sadar dan bebas. Pada hakikatnya aksiologi erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Apabila dikaji secara mendalam tujuan perbuatan manusia adalah kebahagiaan. Karena kekomplekan kajian tentang etika, maka muncullah beberapa paham yang kajiannya menitik beratkan kepada perbuatan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Paham-paham tersebut antara lain : naturalisme, hedonisme, idealisme, perfectionism, theologies, dll[15]
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.getahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.[16]
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.[17]




Referensi

Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, 2002 Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, ­Bunyah al-’Aql al-’Arabi, 2009, Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah.
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu, 2007, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd. Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. Bandung. Penerbit Alfabeta CV
Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. 1996. Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafah al-Arabiyah, 1993, Casablanca, Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi,
P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), 1994, Yogyakarta, Kanisius.
Sutrisno, “Peta Epistemologi Islam menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri”,Mukaddiamah, Nomor 9 tahun VI, 2000, hal. 39.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, 1990, Jakarta, PT. Hidakarya Agung.


[1] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007. hlm. 142.
[2] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, hal. 243
[3] P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan), Yogyakarta : Kanisius, 1994, hal. 6-7
[4] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990), hal. 75
[5] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, Beirut : Markaz ad-Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009, hal. 16
[6] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Ibid, hal. 17-18
[7] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Ibid, hal. 19
[8] Muhammad ‘Abid  Al-Jabiri, Ibid, hal. 23
[9] Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Ibid, hal. 253.
[10] Fathul Mufid, FIlsafat Ilmu Islam, STAIN,Kudus, 2008.hal. 127
[11] Sutrisno, “Peta Epistemologi Islam menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri”, Mukaddiamah, Nomor 9 tahun VI, 2000, hal. 39.
[12] Fathul Mufid, Loc.Cit
[13] Fathul Mufid, Ibid, hal. 130
[14] Fathul Mufid, Ibid, hal. 131-132
[15]Sudarsono. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 197—206
[16] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996, Hal. 327.
[17] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. Bandung. Penerbit Alfabeta CV. Hal.36

1 komentar: