RESUME
STRUKTUR ILMU
Ditulis guna memenuhi tugas akhir semester mata
kuliyah
Filsafat Ilmu
Prodi. Ekonomi Islam Semester III
Disusun oleh :
M. Fathul Mujib
210254
FAKULTAS SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI KUDUS
TAHUN 2011
Struktur Ilmu
1.
Ontologi
Objek ontologi
adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada
umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di
gunakan ketika kita membahas yang ada di dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi, secara etimologi yang berarti
di balik atau dibelakang fisika, maka yang diselidiki adalah hakekat realita
menjangkau sesuatu dibalik realita karena metafisika ingin mengerti
sedalam-dalamnya.
Ontologi sering diidentikkan dengan
metafisika yang juga disebut dengan Proto-filsafat atau filsafat yang pertama,
atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah Hakekat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau Tuhan dengan segala
sifatnya, malaikat, relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan
tenaga-tenaga yang di langit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga.
Sebagai
contoh, ontologi atau hakekat dalam membicarakan tentang hakekat manusia. Pada
hakekatnya manusia adalah hewan dan berfikir.
Ketika kita
membicarakan hewan, hewan dilihat dari hakekatnya terdiri dari :
1.
Amarah
2.
Lauwamah
3.
Muthmainnah
Dan ketika
kita berbicara tentang berfikir terdapat beberapa hal, yaitu : Otak, Hati, dan Nurani.
Yang terjadi dalam kehidupan, kebanyakan manusia dalam
hakekatnya baru mengurusi pada hakekat hewan dan pada tingkatan raga atau
amarah. Bisa kita lihat dari mulai bangun sampai tidur dan bangun lagi, yang di
iklankan di televisi semua berkaitan dengan raga. Sedangkan pada tingkatan
Lauwamah dan Muthmainnah hanya sedikit orang yang mengurusi. Ketika pada
tingkatan amarah telah terabaikan maka manusia akan beralih atau meningkat
kepada Lauwamah dan ketika lauwamah telah terpenuhi maka tingkatan Muthmainnah
pun terpenuhi.
Sedangkan pada hakekat manusia yang kedua atau
berfikir, kebanyakan manusia baru memenuhi sebesar 20 %. Ketika telah memenuhi lebih dari 50 %
maka saat itulah manusia terdapat pada tingkatan Muthmainnah atau telah
berfikir kepada surga.
Dan ketika hakikat membicarakan tentang ketuhanan.
Muncullah beberapa keyakinan/aliran, yaitu :
1.
Monoisme
Aliran ini berpendapat bahwa
yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai
sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini,
karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang sebenarnya.
Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran, yaitu : Materialisme dan
Idealisme.
2.
Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua
macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani,
benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas
dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan
kehidupan dalam alam ini.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang
dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan
istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum
dalam bukunya Discours de la
Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia
menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito
Descartes(metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes,
ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716 M).[1]
3.
Pluralisme
Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk
merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and
Religiondikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas.
Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah
Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh
modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa
tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang
berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
2.
Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti
pengetahuan.[2]
Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas
jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan
jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia
diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada
pertangungjawaban ilmiah.[3]
Pada Epistimologi terdapat dua bahasan, yaitu :
1. Origin atau sumber.
2. Paradikma Berfikir
Dalam hal ini terbagi menjadi :
1.
Bayani (
Teks )
Dari
kata-kata bahasa Arab, Bayan berarti penjelasan atau keterangan.[4]
Jika kita mengikuti nash yang dikemukakan oleh lisan Arab kepada kita, maka
menurut, Al-Jabiri, ada lima pengertian yang paling tepat untuk arti Bayan, yaitu : al-washal, al-fashl,
azh-zhuhur wa al-wudhuh, al-fashahah wa al-qudrah, dan al-insan
hayawan mubin.
1) Al-washal
(sambungan, pertalian).[5] Keterangan tentang al-washal ini
sebagaimana firman Allah SWT kepada kaum musyrikin dalam QS. Al-An’am, 6 : 94 :
Artinya
: Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu
Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa
yang telah Kami karuniakan kepadamu; dan Kami tiada melihat besertamu pemberi
syafa’at yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Tuhan di antara kamu.
sungguh telah terputuslah (pertalian) antara kamu dan telah lenyap daripada
kamu apa yang dahulu kamu anggap (sebagai sekutu Allah).
2) Al-fashl
(pemisah). Banyak sekali penjelasan tentang keterangan materi
kebahasaan yang berkaitan dengan lafazh al-fashl ini, dengan bentuk
padanan kata yang bermacam-macam, diantaranya al-bu’d (jauh), al-firqah
(kelompok), al-mubayinah/al-mufariqah (memisahkan), al-firaq
(berpisah, cerai).
3) Azh-zhuhur
wa al-wudhuh (jelas, nyata). Makna
kata ini sama juga dengan makna yang sebelumnya, yaitu pemisah, berpisah/cerai
dan jauh. Pengertian bayan yang disamakan dengan pengertian azh-zhuhur wa
al-wudhuh ini merupakan kesimpulan dari pengertian sebelumnya yang menunjukkan
pada arti pemisah, berpisah/cerai dan jauh. Pengertian ini menunjukkan
pada kedudukan sesuatu pada pengertian lainnya yang saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Sedangkan pada pengertian selanjutnya (azh-zhuhur wa
al-wudhuh), adalah mengisyaratkan pada suatu kondisi yang dinisbatkan bagi
orang yang memandangnya dari aspek kemanusiaan. Dengan kata lain, pada
pengertian awal berhubungan dengan wujud ontologi atas suatu materi, sedangkan
pengertian selanjutnya adalah berhubungan dengan wujud epistemologi.
4) Al-fashahah
wa al-qudrah ‘ala at-tabligh wa al-iqna’ (kefasihan dan kemampuan dalam
menyampaikan pemahaman kepada orang lain).[6]
5) Al-insan
hayawan mubin (manusia adalah hewan yang bisa menjelaskan). Ini adalah
kemampuan untuk berbicara dengan ucapan yang fasih, dan hanya dimiliki oleh
manusia.[7]
Pengertian
tentang bayani tersebut kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan
pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya. Pada
masa asy-Syafi’i (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi
Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan ushûl
(pokok) dan yang berkembang hingga ke cabang (furû`). Sedang dari segi
metodologi, asy-Syafi’i membagi Bayan ini dalam lima bagian dan tingkatan,
yaitu :
1. Bayan
yang tidak butuh penjelasan lanjut, berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al-Qur`an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2. Bayan
yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
3. Bayan
yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan as-Sunnah.
4. Bayan
sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur`an.
5. Bayan
ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
al-Qur`an maupun as-Sunnah.
Dari
lima derajat bayan tersebut, asy-Syafi’i kemudian menyatakan bahwa yang pokok (ushûl)
ada tiga, yakni al-Qur`an, as-Sunnah dan al-Qiyas, kemudian ditambah al-Ijma.[8]
2.
Burhany (
Logika )
Cara
berpikir burhani adalah
cara berpikir saintifik, yaitu dengan menggabungkan antara analisis
rasional-filosofis dan analisis konteks empiris (historis, sosio-antropologis
dan politis-ideologis). Melalui pendekatan burhani ini kita tidak hanya dapat
mengungkapkan konteks kesejarahan dari suatu risalah keagamaan, tetapi juga
dapat mengungkap akar pemikiran, nilai-nilai spiritualitas, kandungan
filosofis, dan local wisdom (kearifan lokal)nya serta visi pencerahan dan
kritik sosialnya.
Logika di masa modern ini terbagi atas :
a.
Rasionalisme
( Rasional )
Rasionalisme
berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling
dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme
yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di
dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna mempunyai ide yang
sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di
dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa
satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang.
Perkembangan pengetahuan mulai pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap
sebagai bapak rasionalisme adalah Rene Descartez (1596-1650) yang juga
dinyatakan sebagai bapak filsafat modern. Semboyannya yang terkenal adalah
cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Pendidikan
|
Skill
|
Experiens
|
Self act.
|
b.
Matrealisme
( Materi )
Matrealisme mengatakan bahwa hal yang bisa
dikatakan benar-benar ada adalah materi. Dalam sebuah pemahaman logika setelah
rasional terpenuhi makan secara otomatis materi pun akan terpenuhi.
Pemahaman hakekat di dunia ini menurut
matrealisme adalah materi, matrealisme tidak percaya atau tidak mengakui adanya
roh, hantu, setan dan malaikat.
c.
Hedonisme (
Kenikmatan )
Aliran yang berpendapat
bahwa perbuatan susila itu ialah perbuatan yang menimbulkan ‘hedone’
(kenikmatan dan kelezatan). Kebaikan yang paling utama dan
kewajiban seseorang ialah mencari kesenangan sebagai tujuan hidupnya. Aliran
hedonisme dibagi menjadi dua cabang yaitu hedonism egostik dan hedonism
universalistic. Aliran hedonism didukung oleh Demokritos, Aristeppos, dan Epikuros.
3. Irfany ( Rasa )
Kata ‘irfan adalah bentuk masdar
dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan).[9]
Kemudian, kata itu lebih dikenal sebagai terminology mistik yang secara
khusus berarti “ma’rifah” dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”.[10]
Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan
intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan
esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham,
i’iyan (persepsi langsung), dan isyraq.[11]
Menurut Zu al-Nun al-Misri membagi
pengetahuan ke dalam tiga bagian, yaitu pertama pengetahuan tauhid yang khusus
dimiliki oleh orang-orang mukmin yang ikhlas. Kedua, pengetahuan al-hujjah wa al-bayan (argument dan
logika) yang khusus dimiliki oleh ahli hukum ahli bahasa, dan ulama yang
ikhlas. Ketiga, pengetahuan sifat al-wahdaniyah (sifat-sifat keesaan) yang
khusus dimiliki oleh wali-wali Allah yang ikhlas yang mennyaksikan Allah dengan
hati mereka sehingga tampak kebenaran bagi mereka, tetapi tidak dapat dilihat
oleh orang-orang awam.[12]
Dalam
implementasi penalaran irfani terdapat 3 metodologi yang sekaligus dimaknakan
dengan tiga pendekatan, seperti berikut ini :
a)
Metode
Strukturalis, artinya dalam mengkaji sebuah tradisi seseorang berangkat dari
teks-teks sebagaimana adanya. Di mana unsur-unusr baku yang ada di dalamnya
berperan mengarahkan perubahan-perubahan yang berlaku pada dirinya, pada satu
lingkaran focus tertentu.
b) Analisis Sejarah, hal ini berkaitan dengan upaya untuk
mempertautkan pemikiran diempunya teks (yang telah di analisis dalam pendekatan
pertama) dengan lingkungan sejarahnya.
c)
Kritik
Idiologi, maksudnya menungkap fungsi idiologis. Termasuk fungsi, social,
politik, yang terkandung sebuah teks dalam satu system pemikiran tertentu dari
rujukannya.[13]
Dalam beberapa pengkajian
tentang Irfani ini terbagi dalam beberapa tingkatan, antara lain :
1.
Pengetahuan tak
terkatakan
2.
Pengetahuan irfani
atau mistis
3.
Pengetahuan
metafisisme yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Orang Islam menjelaskan pengalaman mistis orang Islam
yang Islam.
b. Orang Islam menjadi pengalaman mistik dari tokoh
mistik non muslim.[14]
Ketiga
pendekatan di atas, saling berkait-erat antara satu dengan yang lainnya dan
membentuk hubungan dialogis-melingkar (sirkuler-dialektis) : memahami teks
(bayâni), tidak dapat dipisahkan dari pemahaman konteksnya (burhâni) ;
pemahaman konteks (burhani), tidak dapat terlepas dari pemahaman teks itu sendiri
(bayâni) ; sementara pemahaman makna terdalam (irfâni), membutuhkan pemahaman
teks dan kontek sekaligus. Berdasar ketiga pendekatan ini, maka diharapkan
problem agama dan kehidupan, mendapat penjelasan secara komprehensif, baik
normativitas, historisitas maupun spiritualitas terdalamnya, sehingga dapat
dijadikan basis kebijakan aktual dalam pengembangan strategi kebudayaan dan
pembangunan.
3.
Aksologi
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik-buruk (moral
dan etika). Objek material aksiologi adalah perbuatan atau tingkah laku manusia
secara sadar dan bebas. Pada hakikatnya aksiologi erat kaitannya dengan
perbuatan manusia. Apabila dikaji secara mendalam tujuan perbuatan manusia adalah
kebahagiaan. Karena kekomplekan kajian tentang etika, maka muncullah beberapa
paham yang kajiannya menitik beratkan kepada perbuatan manusia untuk mencapai kebahagiaan. Paham-paham tersebut antara lain :
naturalisme, hedonisme, idealisme, perfectionism, theologies, dll[15]
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani
yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
social dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan
aturan sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan.getahuan yang
bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti epistimologis,
etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan dengan masalah kebenaran, etika
bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika bersangkutan dengan masalah
keindahan.[16]
Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah
etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai)
dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi
bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat
yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah
(right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya
seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka
memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai
kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought /
should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan,
keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan
suatu teori nilai.
Secara etimologis, istilah aksiologi berasal dari Bahasa
Yunani Kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata
“logos” yang berarti teori. Jadi aksiologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari nilai.[17]
Referensi
Abdullah, M. Amin, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas?, 2002 Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
al-Jabiri, Muhammad ‘Abid, Bunyah al-’Aql
al-’Arabi, 2009, Beirut, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah.
Amsal
Bakhtiar. Filsafat Ilmu, 2007, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Drs. Uyoh Sadulloh, M. Pd.
Pengantar Filsafat Pendidikan. 2007. Bandung. Penerbit Alfabeta CV
Louis O. Kattsoff. Pengantar
Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. 1996. Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana.
Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah
al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi
al-Tsaqafah al-Arabiyah, 1993, Casablanca, Al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi,
P. Hardono Hadi, Epistemologi
(Filsafat Pengetahuan), 1994, Yogyakarta, Kanisius.
Sutrisno, “Peta
Epistemologi Islam menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri”,Mukaddiamah, Nomor 9
tahun VI, 2000, hal. 39.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia,
1990, Jakarta, PT. Hidakarya Agung.
[2] M. Amin
Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002, hal. 243
[5] Muhammad ‘Abid
al-Jabiri, Bunyah al-’Aql al-’Arabi, Beirut : Markaz ad-Dirasat
al-Wihdah al-’Arabiyyah, 2009, hal. 16
[11] Sutrisno, “Peta
Epistemologi Islam menurut Muhammad ‘Abid al-Jabiri”, Mukaddiamah,
Nomor 9 tahun VI, 2000, hal. 39.
[16] Louis O.
Kattsoff. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta. Penerbit Tiara Wacana, 1996, Hal. 327.
sip . . . !!!!
BalasHapus